Di sebuah siang yang panas, saya mengendarai motor untuk berangkat ngopi di warung kopi langganan. Ketika berada di jalan (....)-maaf saya lupa nama jalannya dan pokoknya di belakang kampus brawijaya- saya menemukan sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati. Ada sebuah mobil honda jazz berhenti di tengah jalan yang otomatis membuat macet jalan sempit itu. Tak ayal, para pengendara motor maupun mobil yang lain serempak membunyikan klakson untuk memberi isyarat bahwa jalan sempit itu menjadi macet akibat ulah pengendara mobil honda jazz tersebut. Bukannya segera meminggirkan kendaraan, si pengendara honda jazz tiba-tiba keluar dan memaki-maki pengendara lain yang meneriakinya dengan klakson. Ia tampaknya beralasan akan menjemput seorang siswa dari lingkungan sekolah sekitar itu. Sontak saja hampir terjadi adu pukul yang tidak seimbang antara pengendara honda jazz dengan beberapa pengendara lain yang juga terlihat geram. Untungnya tiba-tiba muncul messiah dalam diri seorang satpam sekolah itu yang melerai pertikaian tersebut. Sungguh pekerjaan seorang satpam adalah salah satu jalan menuju kemakrifatan paripurna. 


Sebuah poin penting yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa itu adalah bentuk egoisme diri yang terbalut dalam kebodohan, ternyata juga memiliki proses yang rumit. Ketika orang sudah memiliki kekayaan, banyak yang tidak kuat dan akhirnya menanggung pahitnya sebuah kebodohan. Kebodohan dalam arti kedunguan dalam mencermati perilaku sosial. Ketika seseorang sudah memiliki segalanya, kadang ia tak mampu mengendalikan diri dan merasa bisa membeli segalanya dengan uang. Seperti halnya birahi, ketika sudah lama ia tak tersalurkan, maka ia akan memuaskan secara brutal ketika menemui sasaran. Ada korelasi yang kuat antara kekuasaan, kekayaan dan kebodohan bersosial. Seakan ia mampu membeli segalanya, tapi lalai membeli otak. 

Kita mungkin masih ingat bapak orde baru yang menerapkan gaya hidup ala bangsawan yang memiliki segalanya, ketika berada di istana cendananya. Sampai-sampai pembantu-pembantu yang bekerja pada bapak "melaksanaken-memperhatiken" itu harus lampah ndodok alias berjalan dengan cara berjongkok layaknya di keraton ketika berjalan di hadapan keluarganya. Dari anak seorang petani di pelosok Bantul yang sering dibully kawan sepermainannya, menjadi penguasa negeri ini hidup layaknya seorang raja Jawa. Apakah salah? Ya salah. Tapi ia merasa benar karena punya kuasa dan uang. Konon kekayaanya hampir mencapai 78 miliar dollar. Uang yang sangat cukup untuk membeli es dawet se-Jawa Timur beserta rumah penjualnya. 

Manusia kadang tidak sadar menjadi bodoh secara sosial akibat kesombongan pada materi dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka benarlah Abraham Lincoln yang pernah berkata, untuk menguji mental seseorang berilah dia kekuasaan. Manusia akan kuat menjalani sebuah kesengsaraan, tapi ia belum tentu sanggup menjalani ujian berupa kekayaan dan kekuasaan. Jika melihat sejarah, jarang sekali ada nabi dan orang-orang suci yang memiliki kekuasaan ataupun kekayaan melimpah. Memang ada, tapi hanya satu dua. Mereka tahu, ujian ini tidak semudah menjalani kesengsaraan dan kemelaratan. Orang akan memiliki banyak sekali opsi pemuasan hasrat duniawi ketika ia kaya dan berkuasa. Tapi ketika ia kere dan sengsara, tentu tidak banyak pilihan kecuali pengekangan terhadap diri sendiri. Kaya dan berkuasa memang tidak dilarang dalam agama apapun, asalkan jangan hina kan diri untuk siap menanggung pahitnya kebodohan hanya karenanya.


Hari ini tidak indah kan? Yah…. Memang. Terlalu sendu. Mendung putih yang mengantung, angin yang lembab, adan daun – daun yang mulai beruguran. Ah, sedang apa disini? Sedang apa di perpustakaan, tidak biasanya. Atau, jangan – jangan kau akan menyelesaikan skripsimu? Ah, hebat sekali… semangat ya. Dan do’akan aku segera menyusulmu.


    Sekarang tak banyak yang bisa kulakukan. Ya mungkin hanya begini saja. Lihat, mulai gerimis. Mari jalan!


Apa? Kau sudah tak suka ritual ini? Oh, baiklah padahal ini indah. Kata senandung, dia sangat suka nada – nada tetes hujan yang menghujam bumi. Haaah..! aku merindukan senandung.


    Ayo lekas! Kita harus segera berteduh. Katamu kau sudah tak suka gerimis. Disana, ada gazebo kecil. Bagaimana kalau kita kesana? Kit bisa mengobrol bersama.. aku rindu kedekatan kita dulu. yang bisa bebas bercanda tawa, tersenyum bersama dan bebas saling peluk. Tak ada sekat yang jauh diantara kita. Dulu kita sangat,,, dekat. Iya kan?


    Oh… baiklah. Aku tahu, sudah bukan waktunya lagi kita bercanda tawa. Kau sudah dengan duniamu sendiri kini. Ya, ya… aku tahu. sampaikan salamku untuk kasihmu..


    Hey! Mmm… bolehkan aku minta satu hal untukmu? tapi kau sangat bisa menolaknya kali ini.


    Bolehkah aku memelukmu sekali saja, yah.. untuk terakhir kali mungkin?! Tapi kau boleh menolak, karena aku tak memaksamu.. oh ya… senandung menyampaikan salam rindu untukmu. dan mungkin aku pasti akan merindukanmu suatu hari nanti. Aku harap aku masih memiliki izin untuk menyebut namamu sebelum tidurku. Oh,ya… sekali lagi kau boleh menolaknya. Kau boleh meninggalkan aku sekarang…


    Sudahlah jangan katakan apa – apa lagi. Cukup lakukan apa yang ingin kau lakukan. Itu sudah sangat cukup.


    Ouh, terima kasih..


    Kau memelukku?


    Kau menciumku?

*** 


    Iya.. akhir – akhir ini memang hari tak lagi indah, serasa ada saja yang meganjal. Dan angin itu membawa banyak alunan ridu. Ya memang, itu keharusan melihat usia dan statusku yang sudah muai berubah. Segeralah selesaikan tugasmu yang satu itu, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa masih banyak hal yang harus kita kejar. Dan kini apa yag sedag kau lakukan?


    Tidak, tidak… aku sudah lama sekali tidak berjalan di tengah hujan seperti ini. Tidak semestinya lagi ritual seperti waku itu masih dilakukan. Bukan saatnya lagi kita bermain – main seperti dulu, iya kan? Dan.. aku tak boleh lagi harusnya menggandeng tangan orang lain seperti ini.


    Iya.. akan kusampaikan salam itu untuknya. Mmm, bintang. Entah mengapa semalam aku benar – benar merindukanmu. Ingin rasanya aku bertemu denganmu dan akhirnya hari ini kita dapat bertemu. Oh, sungguh menyenangkan. Dan kau tahu bintang, sepertinya angin yang mengantarkan isyarat ini. Bintang…


    Apapun jika aku bisa, bintang.


    Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku pun juga selalu menyebut namamu sebelum tidur, sesudah kekasihku. Senandung sebenarnya diam – diam sering menceritakan tentangmu padaku. Dan sebenarnya aku ragu memelukmu saat ini. Bukankah kasihmu masih selalu mengikutimu. Bagaimana jika,..


    Senja yang indah bukan? saat kita merindukan seseorang dan secara perlahan mereka hadir untuk kita. Aku sangat menyayangimu, bintang..


    Aku selalu mengharap kaulah yang hadir dengan senyummu di setiap gerimis datang, angin bersiul, matahari yang menahan amarah, dan saat bulan bercinta.




            Untuk hujan dan gerimis, 

dan untuk senandung

yang selalu angkuh.



Syahdan, dahulu kala datanglah seorang laki-laki dan perempuan yang tak diketahui dari mana asalnya, merekalah sepasang suami istri. Sepasang suami-istri itu adalah orang yang kaya. Mereka datang ke sebuah daerah yang penuh dikelilingi oleh rawa-rawa lalu mendirikan tempat tinggal dan ladang untuk bercocok tanam disana. Tak seorangpun yang tinggal di daerah itu kecuali mereka berdua.

Dikemudian hari, segerombolan kampak yang bengis dan kejam datang untuk merampas harta benda mereka. Tanpa bisa melawan, sepasang suami istri itu menyerahkan harta bendanya dirampas oleh kampak. Mereka tidak segan-segan untuk menghajar korbanya yang berani melawan, bahkan membunuhnya.

Maka untuk menghindari kejahatan kampak itu lagi, sepasang suami istri itu berpindah menuju ke arah timur dari tempat mereka tinggal. Sepasang suami istri itu kemudian mendirikan tempat tinggal mereka yang baru. Disana pun mereka tinggal berdua saja, tampaknya mereka belum dikaruniai keturunan oleh Gusti Pangeran. Jika saja sepasang suami istri itu berketurunan dan beranak-pinak yang banyak, pastilah dikemudian hari ramailah tempat yang mereka tinggali itu. Akan banyak rumah berdiri disana sebagai tempat tinggal yang nyaman. Anak-anak mereka lahir tumbuh dan beranak pinak, maka jadilah sebuah kampung kecil disana.

Akan tetapi, tak disangka tak dikira, belum berapa lama sepasang suami-istri tinggal di tempat baru mereka, kampak-kampak yang kejam mengetahui keberadaan sepasang suami istri itu. Mereka datang kembali dengan tawa yang memekakan telinga. Wajah mereka seram apalagi dengan senjata-senjata mereka yang tajam dan telah banyak memakan korban. Kampak-kampak yang bengis itu merampas sisa harta benda yang dimiliki oleh sepasang suami istri yang malang.

Tetapi sepasang suami istri itu tidak putus asa, mereka terus mencoba menghindari ulah kampak-kampak yang kejam. Sepasang suami istri itu meninggalkan tempat tinggal mereka yang baru saja mereka bangun kembali. Tempat itu kemudian hanya menjadi ratan mati, jalan mati, yang tersisa dari tempat tinggal sepasang suami-istri itu adalah sebuah jalan yang mungkin saja akan menjadi jalan sebuah kampung kecil yang nyaman kalau saja kampak-kampak itu tidak datang dan merampas harta benda milik sepasang suami istri itu.

Sepasang suami-istri itu kemudian menuju ke arah barat daya dari tempat mereka tinggal sebelumnya. Tempat baru yang didatangi oleh suami-istri itu berlembah-lembah dan lebih rendah dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Disana mereka bersembunyi untuk menghindari ulah kampak-kampak yang merampas harta benda mereka.

Setelah dua kali mereka berpindah-pindah tempat untuk menghindari ulah kampak yang bengis dan kejam, mereka ndelik, untuk menghindari kekejaman kampak-kampak yang telah dua kali merampas harta benda mereka. Karena itu daerah itu  dinamai Ndelikguno, wong ndelik ono gunane. Karena tempat itu menjadi tempat sepasang suami istri itu bersembunyi dari kampak yang bengis dan kejam. 

Setelah beberapa saat lamanya mereka tinggal di daerah itu, mereka tidak lagi didatangi dan dirampas harta benda mereka oleh kampak yang bengis dan kejam. Namun di tempat itu sepasang suami-istri merasa kesulitan untuk mendapatkan sumber air untuk kehidupan hari-harinya.

Karena merasa telah aman dari kampak-kampak yang bengis, sepasang suami-istri itu kemudian kembali lagi ke daerah tempat mereka tinggal semula, yang penuh dikelilingi oleh rawa-rawa. Kemudian mereka membangun lagi tempat tinggal mereka disana. Malam-malam, mereka memecah genteng menjadi kreweng kecil-kecil lalu mereka masukkan dalam karung. Tiap malam mereka melakukanya sampai terkumpul beberapa karung besar. Karung itu untuk berjaga-jaga bila suatu saat datang kampak yang bengis dan kejam itu. Mereka pasti akan mengira karung-karung itu berisi sisa harta milik tuan rumah, padahal karung-karung itu berisi kereweng.

Suatu malam yang sepi, tiba-tiba kampak yang bengis dan kejam itu datang, mereka kemudian membawa beberapa karung yang ada di rumah sepasang suami istri itu. Suami istri itu berharap kampak-kampak itu berpikir sepasang suami-istri itu tak mempunyai harta benda yang bisa mereka rampas lagi. Dan sejak malam itu, tak pernah lagi sepasang suami-istri itu didatangi oleh kampak. Mereka kemudian menetap di daerah itu.[]

Malang, 26 januari 2013


* Gusti pangeran, ungkapan dalam bahasa daerah, berarti tuhan.

* Kampak adalah istilah untuk menyebut gerombolan perampok yang bersenjatakan kapak.

*Kreweng, pecahan kecil-kecil genteng yang terbuat dari tanah liat.

*Ndelikguno, nama suatu kampung di kecamatan Tikung kabupaten Lamongan. Delik dalam bahasa daerah berarti bersembunyi. Guno dalam bahasa daerah sama dengan guna dalam bahasa indonesia.

* Ratan, jalan.


 

Teruslah berkeinginan, berharap, bercita-cita, sebab itulah yang akan menjagamu tetap hidup.

Dulu kalimat itu pernah saya ungkapkan pada sahabat saya. Satu persoalan dalam penggal perjalanan hidupnya membuat ia merasa lelah. Amat lelah. Hingga ia ingin mengakhiri semuanya. Mengajaknya berdiskusi tentu tak elok rasanya. Satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu adalah menguatkan hatinya—sambil menunggu ia siap untuk bangkit kembali dan melangkah, melakukan perjalanan hidup yang kadang enak, kadang enek.


Kali lain, ketika ada sahabat yang berbagi kesah, saya berbagi semangat. “Ayo, kamu bisa!”


“Tapi ini sulit!” keluhnya.


Kalimat itu yang saya tunggu. Saat ia sampai pada keyakinan dan pernyataan itu. Saya balik berusaha meyakinkannya. Sejauh yang saya bisa. Karena saya yakin ia juga bisa. Ia sahabat yang cukup cerdas untuk memahaminya.


“Justru karena perkara itu sulit, maka kamu harus berusaha. Sulit bukan berarti tidak bisa. Hanya saja tak mudah.”


Lama setelah itu, pada gilirannya saya juga harus merasakan apa yang coba saya yakinkan pada sahabat saya, dan memang rasanya, tak mudah. Pada titik itu, batin saya bergumam, “Yah, barangkali memang beginilah rasanya.”


Setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Setiap jalan menawarkan berbagai pemandangan, suasana dan tantangan yang berbeda. Setiap orang juga punya kesanggupan masing-masing. Apa jalan yang ia pilih dan bagaimana ia melewatinya.


Saat jalan yang harus saya lewati adalah setapak yang licin dan amat terjal, saya harus selalu meniupkan angin segar seperti yang dulu pernah saya tiupkan ke sahabat-sahabat saya.


Dalam lelah, saya berhenti sejenak. Mencari posisi yang paling pewe, dan mengatur napas. Sambil berusaha menyadari dan menikmati suasana, saya bersiul, mencoba memanggil angin. Dan Tuhan mengirimkan energi dan semangat lewat orang-orang yang saya sayangi. Dengan dukungan dan kasih sayang mereka, rasanya tak ada sesuatu yang tak bisa dilakukan. Itu semua cukup mengendurkan otot dan urat saya yang menegang, meredakan lelah dan membuat saya bersemangat untuk mengambil langkah kembali. Melakukan perjalanan melintasi hidup. Angin berembus segar.


Dan di sinilah saya sekarang. Mengambil langkah dan mencoba menikmatinya.