Jangan Lupa Beli Otak

by 10/30/2020 0 komentar

 


Di sebuah siang yang panas, saya mengendarai motor untuk berangkat ngopi di warung kopi langganan. Ketika berada di jalan (....)-maaf saya lupa nama jalannya dan pokoknya di belakang kampus brawijaya- saya menemukan sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati. Ada sebuah mobil honda jazz berhenti di tengah jalan yang otomatis membuat macet jalan sempit itu. Tak ayal, para pengendara motor maupun mobil yang lain serempak membunyikan klakson untuk memberi isyarat bahwa jalan sempit itu menjadi macet akibat ulah pengendara mobil honda jazz tersebut. Bukannya segera meminggirkan kendaraan, si pengendara honda jazz tiba-tiba keluar dan memaki-maki pengendara lain yang meneriakinya dengan klakson. Ia tampaknya beralasan akan menjemput seorang siswa dari lingkungan sekolah sekitar itu. Sontak saja hampir terjadi adu pukul yang tidak seimbang antara pengendara honda jazz dengan beberapa pengendara lain yang juga terlihat geram. Untungnya tiba-tiba muncul messiah dalam diri seorang satpam sekolah itu yang melerai pertikaian tersebut. Sungguh pekerjaan seorang satpam adalah salah satu jalan menuju kemakrifatan paripurna. 


Sebuah poin penting yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa itu adalah bentuk egoisme diri yang terbalut dalam kebodohan, ternyata juga memiliki proses yang rumit. Ketika orang sudah memiliki kekayaan, banyak yang tidak kuat dan akhirnya menanggung pahitnya sebuah kebodohan. Kebodohan dalam arti kedunguan dalam mencermati perilaku sosial. Ketika seseorang sudah memiliki segalanya, kadang ia tak mampu mengendalikan diri dan merasa bisa membeli segalanya dengan uang. Seperti halnya birahi, ketika sudah lama ia tak tersalurkan, maka ia akan memuaskan secara brutal ketika menemui sasaran. Ada korelasi yang kuat antara kekuasaan, kekayaan dan kebodohan bersosial. Seakan ia mampu membeli segalanya, tapi lalai membeli otak. 

Kita mungkin masih ingat bapak orde baru yang menerapkan gaya hidup ala bangsawan yang memiliki segalanya, ketika berada di istana cendananya. Sampai-sampai pembantu-pembantu yang bekerja pada bapak "melaksanaken-memperhatiken" itu harus lampah ndodok alias berjalan dengan cara berjongkok layaknya di keraton ketika berjalan di hadapan keluarganya. Dari anak seorang petani di pelosok Bantul yang sering dibully kawan sepermainannya, menjadi penguasa negeri ini hidup layaknya seorang raja Jawa. Apakah salah? Ya salah. Tapi ia merasa benar karena punya kuasa dan uang. Konon kekayaanya hampir mencapai 78 miliar dollar. Uang yang sangat cukup untuk membeli es dawet se-Jawa Timur beserta rumah penjualnya. 

Manusia kadang tidak sadar menjadi bodoh secara sosial akibat kesombongan pada materi dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka benarlah Abraham Lincoln yang pernah berkata, untuk menguji mental seseorang berilah dia kekuasaan. Manusia akan kuat menjalani sebuah kesengsaraan, tapi ia belum tentu sanggup menjalani ujian berupa kekayaan dan kekuasaan. Jika melihat sejarah, jarang sekali ada nabi dan orang-orang suci yang memiliki kekuasaan ataupun kekayaan melimpah. Memang ada, tapi hanya satu dua. Mereka tahu, ujian ini tidak semudah menjalani kesengsaraan dan kemelaratan. Orang akan memiliki banyak sekali opsi pemuasan hasrat duniawi ketika ia kaya dan berkuasa. Tapi ketika ia kere dan sengsara, tentu tidak banyak pilihan kecuali pengekangan terhadap diri sendiri. Kaya dan berkuasa memang tidak dilarang dalam agama apapun, asalkan jangan hina kan diri untuk siap menanggung pahitnya kebodohan hanya karenanya.

BADAI OTAK

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar